Kasus-kasus Taman Nasional di Indonesia Pembangunan Jalan Ladia-Galaska: Kepentingan Rakyat atau Penguasa?

| Kamis, 02 September 2010 | |
Pemerintah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) bersama dengan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah sangat antusias membangun jalan Ladia-Galaska (Lautan Hindia-Gayo-Alas-Selat Malaka), dimana sebagian ruas jalannya melintasi kawasan taman buru dan hutan lindung. Pada ruas-ruas tertentu, jalan Ladia-Galaska akan melakukan pembukaan hutan untuk pembangunan ruas jalan baru. Bahkan ternyata Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang harusnya dibuat sebelum pelaksanaan proyek dilakukan, baru disetujui pada pertengahan tahun 2003 dimana sebagian besar ruas jalan telah dikerjakan.

WALHI menilai bahwa dalam Pembangunan Jalan Ladia-Galaska hanyalah untuk kepentingan sesaat pemerintah Propinsi NAD dan Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Walaupun dalam beberapa kesempatan Gubernur NAD selalu mengatakan bahwa pembangunan jalan adalah untuk kepentingan rakyat, namun secara nyata tidak banyak masyarakat yang akan menikmati jalan tersebut untuk mereka.

WALHI menggugat Pemerintah untuk menghentikan pembangunan jalan Ladia-Galaska dan mendorong pemanfaatan ruas jalan yang telah ada guna memenuhi keinginan adanya akses jalan di Propinsi NAD.

Taman Nasional Komodo: Saat Nelayan Tak Boleh Lagi Mencari Ikan

Taman Nasional Komodo terletak di Propinsi Nusa Tenggara Timur, ditetapkan berdasarkan SK Menhutbun No 172/Kpts-II/2000 dengan luas wilayah 132.572 hektar (wilayah daratan seluas 40.728 hektar), keputusan ini merupakan penetapan yang ketiga sejak penetapan pertamanya tahun 1980. sebelum ditetapkan sebagai taman nasional kawasan ini telah ditetapkan sebagai cagar alam sejak zaman Belanda.

Taman Nasional Komodo (TNK) merupakan salah satu TN yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi sejak tahun 1980, tahun 1986 UNESCO menetapkannya sebagai warisan alam dunia (world heritage) dan sebagai wilayah cagar biosfer. Berada di ketinggian 500–600 dpl dan terletak diantara pulau Sumbawa (NTB) dan pulau Flores (NTT), meliputi pulau Rinca, Komodo, Papagaran, Kukusan (yang ada di dalam kawasan dan pulau Messa, Seraya Besar, Seraya Kecil (di luar kawasan).

Kawasan TNK merupakan wilayah tangkapan ikan "favorit" bagi nelayan Sape, pulau maupun daratan (Labuan bajo). Sejak ditetapkannya kawasan ini sebagai wilayah Taman Nasional Komodo, mulai banyak terjadi tindak kekerasan yang dialami masyarakat, tidak kurang dari 10 nyawa melayang, 3 orang hilang dan puluhan bahkan ratusan nelayan yang mendapatkan tindak kekerasan dari aparat dan data terakhir 9 nelayan ditangkap pada tanggal 25 April 2003. Semua tuduhannya sama yakni memasuki wilayah "terlarang" di TNK.

Penderitaan masyarakat kian menjadi ketika pemerintah (Dirjen PHKA) melakukan kesepakatan kerja (MOU) dengan The Nature Conservancy (TNC) pada tahun 1995, penderitaan tersebut tidak terlepas dari pola dan faham pengelolaan TNK yang dibawa TNC, walaupun pada awalnya TNC hanya merupakan bagian dari supporting system dalam pengelolaan TNK namun karena dukungan dana serta fasilitas yang cukup besar ia telah menghegemoni Balai Taman Nasional Komodo (BTNK). TNC telah membuat BTNK berada dalam gepitan ketiaknya.

Adanya larangan melakukan aktivitas nelayan di wilayah TNK telah menjadikan masyarakat semakin sengsara dan termarginalkan, alasan pelarangan yang selalu didengungkan oleh BTNK/TNC adalah karena penggunaan destructive fishing oleh nelayan, hal yang sangat miris jika solusinya kemudian adalah penutupan akses rakyat atas sumber kehidupannya, lalu TNC pun merekomendasikan untuk dilakukan perubahan pola kerja masyarakat seperti menjadi pengrajin, melakukan penangkaran ikan dan lain-lain. Namun yang harus diperhatikan adalah bahwa masyarakat di wilayah TNK kulturnya merupakan nelayan, tidaklah mudah untuk melakukan perubahan yang sifatnya kultural, apalagi dengan jumlah penduduk tidak kurang dari 11.000 jiwa ditambah banyaknya larangan bagi penduduk, seperti memanfaatkan hasil hutan, batasan alat penangkap ikan (sesuai Perda No. 11/2001) dan lain-lain. Semua itu hanyalah akal-akalan TNC untuk melakukan pengusiran secara perlahan dan sistematis.

Dari aspek sosial pun kini telah terjadi banyak benturan sosial baik antar masyarakat didalam kawasan maupun dengan masyarakat luar kawasan, hal ini tidak terlepas dari strategi yang dimainkan TNC yakni dengan melakukan pendekatan dengan kelompok-kelompok kecil binaannya, bibit konflik sosial pun telah disebarkan. Dari aspek budaya juga telah terjadi intervensi, seperti pemisahan Komodo dengan masyarakat di TNK, perlu diketahui bahwa antara masyarakat Komodo dengan binatang komodo mempunyai keterkaitan sejarah yang sangat erat, bentuk intervensi yang dilakukan bahkan hingga ke pelarangan bermukim di wilayah TNK bagi masyarakat di TNK yang menikahi "orang luar" TNK.

Hal yang patut pula "ditentang" dari misi TNC adalah rencana collaborative management. Idealnya collaborative management dilakukan dalam koridor partisipatif, berkelanjutan, transparan dan yang terpenting lagi adalah menjadikan masyarakat sebagai subyek. Namun yang terjadi adalah kebalikannya, indikasi ini dapat jelas terlihat dari proposal TNC yang akan menjadikan TNK sebagai "lahan konsesi" yang dikelola secara eksklusif. Format kolaborasi yang diusungnya pun tidak lebih dari model privatisasi kawasan konservasi, apalagi secara terang-terangan TNC juga telah menggandeng pengusaha yang akan berkolaborasi dalam usaha ekowisata.

0 komentar:

Posting Komentar