Taman Nasional Wakatobi : Surga Dunia, Bukan Surga Rakyat

| Kamis, 02 September 2010 | |
Sejak tahun 1995 Pemerintah pusat melalui LIPI dan Kementerian Lingkungan Hidup RI menyetujui Kontrak Kerjasama pengelolaan kawasan perairan Kepulauan WAKATOBI (Kepulauan Tukang Besi) hingga tahun 2020 (25 tahun) pada sebuah perusahaan dengan nama Badan Pelaksana (BP) Wallacea yang berkedudukan di Jakarta dan berpusat di UK–Inggris, yang selanjutnya beroperasi dengan nama Yayasan Wallacea. Kemudian disebutkan bahwa BP Walacea akan melaksanakan serangkaian kegiatan riset di kawasan tersebut dengan nama "Operation Wallacea" dengan fokus pada riset jenis spesies flora dan fauna di dalam areal perairan dengan luas total 1.390.000 hektar. Untuk mendukung upaya tersebut maka pemerintah pusat menetapkan kawasan tersebut sebagai kawasan Taman Nasional Laut dengan nama Taman Nasional Kepulauan WAKATOBI melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 393/Kpts-VI/1996 tanggal 31 Juli 1996. Kawasan tersebut dibagi menjadi lima zona.

Nama WAKATOBI diambil dari nama awal empat pulau utama di kawasan tersebut yaitu (Wanci, Kaledupa, Tomia & Binongko). Dengan pengawasan sebuah kantor perwakilan Taman Nasional di kota Baubau. Praktis kawasan yang telah dibagi dalam beberapa zonasi tersebut (tanpa musyawarah mufakat dengan masyarakat lokal) membawa segudang masalah dengan masyarakat nelayan yang turun temurun mengelola secara adat seluruh kawasan perairan tersebut. Mulai dari larangan memasuki zona terlarang, zona riset, zona pemanfaatan hingga tidak adanya akses masyarakat lokal untuk menentukan pola pengelolaan kawasan TN tersebut. Belum lagi adanya upaya melaksanakan kegiatan Illegal Ecotourism berkedok riset di kawasan ini oleh pengelola BP Wallacea. Tak kurang dari 100 orang peneliti dari berbagai negara Eropa datang di pulau ini dan secara bergantian melakukan kegiatan "riset" di kawasan TN Kepulauan Wakatobi.

Masuknya LSM internasional TNC (The Nature Concervacy) dengan menggandeng WWF Indonesia sejak permulaan tahun 2002 di kawasan ini melalui serangkaian program konservasi kawasan Taman Nasional berdampak luas pada perubahan kultur masyarakat Wakatobi.
Sebuah gelar operasi dengan sandi "Operasi Napoleon" oleh Tim gabungan keamanan laut TNKW rencananya efektif dilakukan pada tahun 2004. Walaupun mendapat sorotan dari banyak kalangan Ornop dan gerakan mahasiswa di Sultra dan nasional, rencana pengelolaan kawasan TNKW dengan pola Collaborative Management (Co-Management) tetap dilakukan. Operasi sejenis dapat dilihat juga pada pola pengamanan kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) di kawasan Nusa Tenggara Timur (NTT). Umumnya beranggotakan satuan Polisi (Polairud/Shabara Perintis/Brimob), Polisi Khusus Kehutanan (Polhut), satuan tentara dari Angkatan Laut (TNI AL) serta pihak birokrasi kecamatan/kabupaten (Staf Pemerintah Kabupaten atau kecamatan setempat).

Empat kecamatan/pulau di wilayah ini -Wanci, Kaledupa, Tomia, dan Binongko- telah disepakati oleh DPR RI untuk ditingkatkan statusnya menjadi wilayah Kabupaten, terpisah dari kabupaten induk, Buton. Pro kontra perebutan pengelolaan kawasan TNKW makin meluas, setelah kelompok-kelompok Ornop dan Gerakan Rakyat dan Mahasiswa lokal di Buton dan Kendari gencar menggalang dukungan penolakan kehadiran berbagai NGO konservasi internasional di kawasan ini. Saat ini operasi Opwal berada di P. Hoga Kecamatan Kaledupa, sementara kantor operasi TNC berada di kota Baubau. WWF Indonesia sendiri belum dapat terdeteksi kantor operasinya, sebab senantiasa bersamaan aktivitasnya dengan staff/volunteer TNC.

0 komentar:

Posting Komentar