Taman Nasional Rawa Aopa Watomohai : Meniadakan Hak-hak Rakyat Moronene

| Kamis, 02 September 2010 | |
Taman Nasional RAW ditetapkan pada tanggal 17 Desember 1999 lewat keputusan Menteri Kehutanan RI no 756/kpts/II/1990, dengan luas 105.194 Ha TN RAW membentang dari mulai kabupaten Kendari – Kolaka hingga ke kabupaten Buton. Proses penetapannya sendiri sudah dimulai sejak dikeluarkannya rekomendasi Gubernur Sulawesi tenggara pada tanggal 5 Mei 1983 no 522.51 kepada menteri kehutanan c.q Dirjen PHKA. TN RAW memiliki empat tipe ekosistem yakni: savana, rawa laut (bakau), rawa darat dan ekosistem dataran rendah.

Orang Moronene diyakini merupakan suku tertua dan pertama yang mendiami dataran Sulawesi tenggara, saat ini mereka umumnya bermukim dan menyebar di sebelah selatan Sulawesi tenggara dan salah satu kampung (tobu) tertuanya adalah tobu HukaEa LaEa. Menurut sebagian antropolog asal usul nenek moyang mereka berasal dari daratan Filipina yang diperkirakan mulai bermukim sejak tahun 1720. secara administratif perkampungan Orang Moronene meliputi 7 wilayah kecamatan yang tersebar di kecamatan Kabaena, Kabaena Timur, Rumbia, Poleang Barat, Poleang Timur, Rarowatu, Watubangga (di wilayah Buton) serta 1 (satu) kecamatan di wilayah Donggala. Ketujuh kecamatan tersebut dulunya merupakan wilayah kerajaan Moronene yang luasnya mencapai 3.393,67 Km2.

Setelah tahun 1920 orang Moronene mulai banyak yang pindah dan atau dipindahkan dengan berbagai alasan di antaranya akibat bencana yang datang diantaranya. Pada tahun 1953 kampung merka diserbu dan dikuasai gerombolan badik, pada tahun 1957 terjadi penyerangan oleh pasukan DI/TII yang mengharuskan mereka meninggalkan kampungnya. Sejak peristiwa inilah Orang Moronene mulai dipindah-pindahkan oleh pemerintah ke lokasi-lokasi pemukiman baru. Namun demikian ikatan orang Moronene dengan tanah leluhurnya tidaklah hilang, secara teratur mereka masih masuk tobu HukaEa LaEa untuk berkebun dan juga membersihkan kuburan leluhurnya.

Dalam masa pengungsian inilah pemerintah mulai menunjukan sikap represif dan otoriternya dengan melakukan pembatasan-pembatasan akses Orang Moronene di tanah leluhurnya serta tindakan intimidasi di antaranya:

Pengambilalihan wilayah adat Orang Moronene secara paksa
Pembakaran dan pengrusakan rumah-rumah penduduk
Pembabatan tanaman masyarakat yang siap panen
Penangkapan hingga ke penahanan Orang Moronene
Penghilangan mata pencaharian masyarakat


Sebelum kejadian itu semua Orang Moronene (tobu HukaEa LaEa) telah melakukan upaya yang simpatik dalam usahanya kembali ke tanah leluhur, diantaranya dengan mengirim surat ke pemerintahan termasuk kepada balai taman nasional RAW, namun tidak ada tanggapan dari semua instansi yang dikirimi surat tersebut. Karena tidak adanya respon serta berlarut-larutnya maslaah tersebut maka pada tanggal 15 – 18 Februari 1996 sebagian warga Hukaea Laea dan Lampola memasuki tobu mereka

Semua tindakan pemerintah tersebut berlindung dibalik "perlindungan kawasan konservasi". Untuk melegitimasi tindakannya pemerintah pun menuduh Masyarakat sebagai perusak hutan, penyerobot wilayah Taman Nasional dan juga perusak kekayaan sumber daya alam. Walaupun fakta berbicara bahwa; bukti sejarah, peninggalan bekas perkampungan, pekuburan masyarakat, bukti vegetasi, aturan-aturan adat yang masih terdokumentasikan dan masih dilaksanakan, pengakuan dari orang Moronene yang menyatakan bahwa kampung HukaEa LaEa merupakan wilayah leluhurnya, fakta bahwa hutan yang terjaga justru yang ada di wilayah hukum orang moronene.

Tindakan represif pemerintah tersebut dijabarkan serta diimplementasikan dalam bentuk Operasi Sapu Jagat (OSJ), yang dilaksanakan secara berturut-turut pada tanggal 16 Desember 1997 (OSJ I), tanggal 23 Oktober 1998 (OSJ II), tanggal 23 – 25 November 2000 (OSJ III) dan tanggal 28 April 2002 (OSJ IV). Kerugian yang diderita masyarakat diantaranya: rumah penduduk yang dibakar dan dihancurkan tidak kurang dari 200 rumah, ratusan alat perkebunan disita serta barang-barang berharga masyarakat lainnya.

0 komentar:

Posting Komentar